Posted by : Leo Kresna
Kamis, 10 Oktober 2013
kita sekolah, diajarkan di pelajaran sejarah, kita anggap sebagai pahlawan karena perjuangannya mulai dari melawan penjajah sampai mempertahankan kedaulatan republik ini yang sempat hendak diusik lagi oleh Belanda ternyata dulunya tidak diakui sebagai pahlawan oleh pemerintah kita. Bung Tomo, pahlawan pengobar semangat juang arek-arek Surabaya ini baru mendapat gelar pahlawan secara resmi dari pemerintah pada tahun 2008, yang disahkan melalui Keputusan Presiden Nomor 041/TK/TH 2008.
Sesuatu yang menimbulkan tanda tanya besar, meski kemudian jika kita menilik kembali sepak terjang beliau pada masanya hal ini tidak lagi mengejutkan. Bung Tomo bukan hanya seorang pejuang yang kritis terhadap penjajah, beliau adalah sosok yang juga kritis terhadap pemerintah. Pada jaman orde baru, pemerintahan Soeharto, Bung Tomo bahkan sempat dipenjara. Kritik-krtitiknya terhadap pemerintah waktu itu membuat gerah penguasa. Pemikiran-pemikirannya yang kritis bisa dibaca di bukunya, Menembus Kabut Gelap: Bung Tomo Menggugat.
Menurut KBBI, pahlawan diartikan sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dulu membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Kalau menilik pendefinisian di atas kiranya tak salah kalau selama ini kita menganggap Bung Tomo sebagai pahlawan meskipun, sekali lagi, ternyata pemerintah kita baru mengakui belum lama ini. Akan tetapi terlepas dari pengakuan pemerintah, ataupun pendefinisian, jasa Bung Tomo patut kita hargai. Bukan itu saja, di masa di mana kita sudah dinyatakan, diakui merdeka tapi ternyata masih “terjajah” ini, jiwa kepahlawanan seperti Bung Tomo sangat dibutuhkan. Bangsa kita butuh pahlawan-pahlawan untuk membawa bangsa ini menuju terwujudnya cita-cita bersama, cita-cita yang tertuang dalam butir-butir Pancasila terutama sila kelima, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Cita-cita yang sepertinya masih sekadar pengakuan, tertulis, resmi, tapi belum benar-benar diamalkan.